Halaman ini disediakan untuk anda, publik luas, yang ingin menyumbangkan ulasan sebuah pameran. Silahkan isi kotak dibawah ini. Ulasan anda tidak lebih dari 600 kata.
1. Bagaimana Pameran Agus Suwage di Galeri Nadi menurut pendapat anda ?
2. Pameran Poem Of Blood ; Ugo Untoro di Nasional Galeri ?
3….atau anda punya ulasan pameran lainnya..silahkan!
Renjana Biru Pesawat
oleh Heru Hikayat
Komplek Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB dibangun-ulang pada awal tahun 1990an. Gedung baru diresmikan pada tahun 1994. Galeri milik FSRD ITB yang diberi nama Soemardja, untuk menghormati profesor warga Indonesia pertama perintis sekolah tersebut, sejak itu mendapat bentuk baru. Awalnya bentuk itu agak ganjil yaitu seperempat lingkaran dengan langit-langit meninggi ke arah balkon dan jendela berkaca sepanjang sisi lengkung. Lantai balkon dan jajaran jendela sangat menyulitkan penataan karya dan pengendalian cahaya dalam ruangan. Maka pada paruh kedua tahun 1990an Galeri Soemardja dirombak lagi, dipasangi partisi menutupi sisi lengkungnya hingga menjadi dinding lurus-tinggi. Kini Galeri Soemardja menjadi galeri dengan ruang pamer paling leluasa di Bandung.
Pada 5–27 April 2007 ini ruang Soemardja mendapat “tantangan”. Bagaimana tidak, ruangan lega itu menjadi sesak. Ruang pamer disesaki rangka pesawat. Galeri seolah menjelma hanggar. Pesawat itu terjebak di dalam ruangan karena, melihat ukuran pintu, pesawat itu tak akan mungkin bisa keluar kecuali jika dipreteli. Dengan skala nyaris menyamai aslinya 8 : 10, pesawat memakan ruangan seluas kira-kira 15 X 10 meter, sayap belakang menjulang hingga menyentuh langit-langit, sementara kedua sayap utama nyaris menyentuh sisi dinding kiri dan kanan.
Itu adalah replika pesawat bikinan Iswanto Hartono, perupa/arsitek dari Jakarta. Ia membangun replika pesawat F-117A Nighthawk, atau lebih dikenal dengan Stealth Figther, juga Pesawat Siluman. Keunggulan utama pesawat ini adalah anti radar,menyusup ke wilayah musuh tanpa terdeteksi, layaknya siluman. Pesawat ini salah satu cerita keunggulan Amerika Serikat dalam kompetisi teknologi perang, sukses digunakan dalam Perang Teluk memerangi Irak tahun awal 1990an.
Cerita ini tentu merupakan satu dari sekian pertimbangan Iswanto untuk kemudian memilih membangun replikanya dan menjadikannya karya seni. Hal lain, kiranya soal bentuk. Bentuk pesawat ini unik, menyerupai, mungkin makhluk malam macam kelelawar, diabstraksi dengan garis-garis lurus membentuk bangun yang tampak hasil teknologi canggih, mengagumkan sekaligus menyiratkan ancaman khas senjata. Di sini, Iswanto melakukan manuver.
Ia tidak menggiring pemirsa untuk terus mengingat pesawat aslinya dengan segala atribut perang atau piranti canggihnya. Replikanya berhenti sebagai rangka, tanpa kulit yang menuntaskan bentuk luar. Bahkan rangka itu dibiarkan telanjang sebagai batangan besi dengan karat dan efek bakar dari las. Kabel menjulur kesana-kemari, digunakan untuk mengalirkan listrik ke sejumlah neon. Lampu neon warna biru membuat rangka berpendar-pendar. Seluruh ruangan pun berwarna biru. Cahaya biru, di satu sisi menyilaukan (waktu pembukaan tanggal 5 April lalu, puluhan pengunjung tidak betah berlama-lama dalam ruangan, karena cahaya selain menyilaukan juga bikin pusing), di sisi lain membangun renjana (suasana hati yang kuat) bagi seluruh ruang. Jadilah pameran dijuduli “Blue” (“biru”).
Jika karya ini diibaratkan ungkapan, maka ia menyasar berbagai lapisan yang ambivalen, bahkan mungkin berlawanan satu sama lain. Kita bisa mulai dari kesukaan si perupa terhadap teknologi perang, sebab tak mungkin ia menghabiskan sejumlah besar uang untuk membangun replika jika tak ada rasa suka. Kita juga bisa membandingkan dengan hobi kaum menengah-kota terhadap senapan. Kaum ini membeli bukan hanya senapan tapi juga kostum para militer, membentuk kelompok dan melakukan simulasi perang. Ternyata perang menarik. Tapi perang sungguhan adalah kekejaman dan kekerasan, maka yang sesungguhnya menarik adalah perang sebagai tontonan. Selanjutnya adalah teknologi canggih. Kecanggihan selalu menarik minat. Penjelajahan kecanggihan teknologi banyak dimulai di laboratorium militer. Pertama, kecanggihan menantang kecendekiaan. Kedua, teknologi canggih berkaitan dengan pemuasan bagi keinginan manusia (terbang, melaju cepat, menyiasati waktu, dll). Ketiga, pada puncaknya teknologi canggih sering juga berupa manifestasi estetik. Mobil-mobil canggih-mewah secara bentuk saja amat menarik. Lalu yang menghubungkan perang dan teknologi canggih adalah kekuasaan dan politik. Penguasaan teknologi canggih menjamin kemenangan di medan perang, lalu memapankan kekuasaan politis. Menenelusuri alur ini, maka kita bisa menafsirkan bukan perang itu sendiri yang disasar Iswanto, melainkan narasi di baliknya dan bagaimana representasi dari semua itu jelas-jelas merupakan tontonan.
Sebagai karya seni, replika Iswanto menunjukan apa yang saya ingin sebut “obsesi pada realitas”. Sejak lama didiskusikan tentang hubungan seni dengan realitas. Keduanya pasti berhubungan, karena mustahil seseorang tiba-tiba mencipta sesuatu dengan sepenuhnya terlepas dari kenyataan yang melingkupinya. Keduanya sekaligus berbeda, karena jika benar-benar sama, tentu sesuatu tidak akan menjadi seni melainkan benda atau peristiwa yang banal semata. Iswanto jelas memperhitungkan dengan cermat peniruannya. Sebagai arsitek ia biasa dengan pembuatan model dan perhitungan ruang. Kecermatan ini membuatnya mengampiri kenyataan. Lalu ia berhenti. Tanpa membuat bentuk pesawat pejal, hanya rangka, dan tanpa segala piranti canggih yang menjadi nyawa pesawat, maka ia menjauhi kenyataan. Pada sentuhan akhir, pendaran cahaya biru menjadikan keseluruhan ruang menjadi puitis.
Pada akhirnya saya menganggap karya Iswanto tidak lagi sekedar berpegang pada kredo lama tentang karya seni merupakan koreksi terhadap realitas. Ada satu lagi elemen karya yang belum disebutkan, yaitu teks bergerak yang ditampilkan layar LID berukuran 15 X 60 cm. Di sana ada pernyataan “victory is mellow”. Victory adalah kemenangan, sementara “mellow” sangat sulit dicari padanannya dalam Bahasa Indonesia. Saya cenderung memilih anak-arti “rasa riang yang dihasilkan oleh keadaan agak mabuk”. Maka secara keseluruhan, karya Iswanto bukan hanya menguak lapisan-lapisan yang biasa mengelimun di balik bentuk fisik atau realitas banal, namun tampilannya merupakan renjana yang memabukan.
(Heru Hikayat, kurator RedPoint Gallery di Bandung)
Lihat gambar di: http://contempartnow.wordpress.com/xfiles/special-project/
menurut saya Agus Suwage adalah seniman yang hebat n berbakat. Tapi kok sayang ya….karyanya belakangan ini sepertinya tdk berkembang dan banyak pengulangan.
Mas Rifky Effendy…
saya mau tanya ya.
Kok rata-rata lukisan para pelukis Indonesia sekarang mirip2 lukisan para pelukis Cina ya?
lagi musim kali ya?
Semuanya Beralih ke realis.
Kalo Agus Suwage kan memang dari dulu, tapi kalo para pelukis lain kok tiba 2 mendadak realis ya mas?
satu kata untuk agus suwage :cerdas